~*~ Shaleh Dan Malu ~*~
Beruntungnya,
Saya pernah mengenal 3 orang saleh
Ketiganya tinggal di daerah yang berbeda
Sikap dan pandangan agamis mereka pun berbeda
Dan tingkat kesalehan mereka pun berbeda
Saleh pertama di klender,
Orang betawi campuran arab
Ia saleh,
semata karena NAMANYA
Orang menyukainya karena ia aktif siskamling,
Meskipun bukan pada malam gilirannya
Soleh yang kedua,
Haji Saleh Habib Farisi,
Orang jawa
Agak aneh memang,
Habib Farisi sebuah nama jawa
Ia saleh dalam arti sebenarnya
Minimal kata para jamaàh masjid kampung itu
Jenggotnya panjang,
Peci putihnya tak pernah lepas,
Begitu juga sarung plekat abu-abunya itu
Tutur katanya lembut,
Seperti mas danarto
Ia cekatan memberi senyum pada orang lain
Alasannya
"Senyum itu Sedekah"
Kepada anak kecil,
Ia sayang
Hobinya mengusap kepala bocah-bocah yang selalu berisik pada saat sholat jamaàh berlangsung
Usapan itu dimaksudkan agar anak-anak itu tak lagi bikin gaduh
Tapi yang namanya bocah,
Yaaa.... tetap aja bocah
Biar seribu kali kepala di usap,
Ribut tetap jalan
Seolah mereka khusus dilahirkan buat bikin ribut di masjid
"Ramai itu baik saja"
Katanya dengan sabar (ketika orang-orang lain pada marah)"
"Karena ramai tanda kehidupan"
katanya lagi
"Lagi pula, kita harus bisa sholat khusuk dalam keramaian itu"
Mungkin ia benar,
Buktinya ia betah berjam-jam Dzikir di masjid
Sering sholatnya sambung menyambung tanpa terputus kegiatan lain
Selesai magrib,
Ia tetap berdzikir sambil kepalanya terangguk-angguk hingga Isyà tiba
Jauh malam,
Ketika orang masih lelap dalam mimpi masing-masing
Ia sudah mulai sholat malam,
Kemudian dzikir panjang sampai subuh tiba
Selesai subuh dzikir lagi,
mengulang-ulang Asmaul Husna dan beberapa Ayat pilihan sampai terbit matahari
Ketika sholat Duha,
Tidur lagi satu jam
Selebihnya dzikir... dzikir... dzikir...
Pas betul dengan nama yang disandangnya
Dasar sudah saleh, plus Habib (nama sufi besar) ditambah Farisi (salah seorang sahabat Nabi, Kalau kita sulit menemui Pejabat karena banyak acara
Kita sulit menemui orang jawa ini,
Karena ibadahnya di masjid begitu padat
Para tetangga menaruh Hormat padanya
Banyak pula yang menjadikannya Idola
Namun ia mempunyai kekurangan,
Ada dua macam cacat utamanya
*) Kalau dalam sholat jamaàh, tak ditunjuk jadi Imam, ia tersinggung
**) Kalau orang tak sering Sowan ke rumahnya, ia tidak suka karena ia menganggap orang itu telah mengingkari eksistensinya sebagai orang ada di depan
"Apakah ia dengan aktif di masjid, karena ingin menjadi Tokoh?
"Hanya Allah dan dia yang tahu"
Pernah saya berdialog dengannya,
Setelah begitu gigih menanti dzikirnya yang panjang itu selesai
Saya katakan bahwa kelak bila punya waktu banyak,
Saya ingin selalu dzikir di masjid seperti dia,
Saya tahu,
Kalau sudah pensiun,
Saya akan punya waktu macam itu
"Ya kalau sempat pensiun"
Komentarnya
"Maksud pak Haji ?"
Memangnya kita tahu berapa panjangnya usia kita ?
Memangnya kita tahu bakal mencapai usia pensiun ?
"Ya, ya benar pak Haji"
Saya merasa terpojok
"Untuk mendapat sedikit bagian dunia,
Kita rela menghabiskan seluruh waktu kita
Mengapa kita keberatan menggunakan beberapa jam sehari buat hidup kekal abadi di surga ?
"Benar pak, Haji, orang memang senang mengejar dunia"
Itulah,
cari neraka saja mereka"
Maka tak bosan-bosan saya ulang nasehat bahwa...
"Orang harus sholat sebelum di sholatkan"
Mungkin tak ada yg salah dari sikap pak Haji Saleh
"Tapi kalau saya takut,
sebabnya kira-kira ia terlalu menggaris bawahi
"Ancaman"
Saya membandingkannya dengan orang Saleh yang ketiga
Ia juga Haji,
Pedagang kecil,
Petani kecil,
Dan Imam di masjid kecil
Namanya bukan Saleh,
melainkan Sanip, Haji Sanip
Orang betawi asli
Meskipun Ibadahnya ( di masjid ) tak seperti Haji Saleh
Kita bisa merasakan kehangatan Imannya
Waktu saya tanya,
Mengapa sholatnya sebentar dan Do'anya begitu pendek
Cuma melulu Istigfar (mohon ampun)
Ia bilang bahwa,
Ia tak ingin meminta aneh-aneh
Ia malu kepada Allah
Bukankah Allah sendiri menyuruh kita meminta dan bukankah Allah berjanji Mengabulkannya ?
Itu betul,
Tapi minta atau tidak,
Kondisi kita sudah dengan sendirinya kan!
Kita ini cuma sekeping jiwa telanjang,
Dari hari ke hari nyandong Berkah-Nya,
Tanpa pernah memberi
Memang Allah Maha Pemberi,
Termasuk memberi kita rasa malu
Kalau Rezeki-Nya kita makan,
Mengapa rasa malu-Nya tak kita gunakan ???
Katanya
Bergetar saya,
Untuk pertama kalinya saya merasa malu pada hari itu
Seribu Malaikat, Nabi-Nabi, Para wali, dan orang-orang suci langsung di bawah Komando Allah seperti serentak mengamini ucapan orang betawi ini
"Perhatikan di masjid-masjid,
Jamaàh yang meminta Allah kekayaan, tambahan Rezeki, naik gaji, naik pangkat
Mereka pikir Allah itu Kepala Bagian Kepegawaian di kantor kita
Allah kita Puji-puji karena akan kita mintai sesuatu
Ini bukan Ibadah,
Tapi DAGANG
Mungkin bahkan pemerasan yang tak tahu malu
Allah kita sembah,
Lalu kita perah Rezeki dan Berkah-Nya
Bukannya kita sembah karena memang seharusnya kita menyembah-Nya
Seperti tekad Al-Adawiyah itu"
katanya lagi
Nafas saya sesak
Saya tatap wajah orang ini baik-baik
Selain keluhuran batin,
Di wajah yang mulai menampakkan tanda ketuaan itu terpancar ketulusan Iman
Kepada saya, pak
Haji itu jadinya menyodorkan sebuah cermin
Tampak disana,
Wajah saya retak-retak
Saya malu melihat diri sendiri
Berapa banyak saya meminta selama ini,
Tapi betapa sedikit saya memberi,
Terlebih tiada pernah sesering mungkin menSYUKURInya
Mental korup dalam Ibadah itu,
Ternyata bagian hangat dari kehidupan pribadi saya juga
Malu saya,
Sadarlah saya ... Tetap istiqamahkanlah aku Yaa Allah ;
Amin
♥♥♥
Referensi :
Senin, 11 Juli 2011
Senin, 11 Juli 2011
http://ciharinem.blogspot.com/2011/07/blog-post.html
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar